"Akhirnya kita bisa berjalan dengan nyaman. Tak perlu lagi terganggu oleh benda-benda itu, bukan?"
"Benar sekali! Belum lagi bau yang sangat menyiksa hidungku. Syukurlah semuanya sudah hilang."
"Tempat ini juga menjadi lebih ramai sekarang, ya. Senang rasanya jika mereka betah lebih lama di sini!"
Syahdu, itulah kata yang pas untuk menggambarkan suasana hari itu. Sungai mengalir dengan lancar tanpa ada sampah yang biasanya menghiasi alirannya. Tawa riang anak-anak yang bermain dan belajar di tepi sungai menambah keindahan suasana.
"Ayo kita hitung berapa banyak batu di sini!" ujar seorang pria yang tampak lebih dewasa dari anak-anak yang ada.
Anak-anak pun dengan semangat mengumpulkan batu. Tak lama, mereka saling berlomba menyebutkan jumlah batu yang mereka temukan.
"Pasti batuku yang paling banyak!"
"Bukan, aku yang paling banyak!"
"Tidak, aku!"
Mereka saling bercanda, hingga pria tadi meminta setiap anak untuk menyebutkan jumlah batu yang mereka hitung. Tak ada yang kalah atau menang di sini, karena mereka sedang diajari pentingnya kejujuran dan bagaimana menghitung dengan benar, bukan hanya menebak-nebak.
Ini adalah salah satu metode belajar tentang kejujuran dan kedekatan dengan lingkungan yang dicetuskan oleh Jamaluddin, seorang pria dari Desa Kanreapia, yang terletak di dataran tinggi Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Pengalaman Buruk yang Menjadi Titik Balik
Jamaluddin, seorang pria berusia 34 tahun, terinspirasi dari pengalamannya yang putus sekolah untuk mendirikan Rumah Koran. Gerakan ini bertujuan memberantas buta huruf di desanya, terutama di kalangan anak-anak petani.
Desa Kanreapia dikenal sebagai desa dengan ekonomi yang cukup baik, namun ironisnya, tingkat pendidikan di sini sangat rendah. Dari total penduduk sebanyak 4.733 jiwa, terdapat 252 orang yang masih buta huruf.
Ekonomi yang baik tentu seharusnya didukung dengan pengetahuan yang baik pula, sehingga kesejahteraan masyarakat bisa meningkat secara berkelanjutan. Namun, sayangnya, kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan juga masih rendah. Sampah sering dibuang ke sungai, dan penggunaan bahan kimia dalam pertanian sangat tinggi. Kurangnya literasi lingkungan menjadi tanggung jawab siapa?
Hal inilah yang mendorong Jamaluddin dan rekan-rekannya sesama putra daerah untuk mendirikan sebuah tempat di mana para petani bisa berdiskusi, membaca buku, dan mengembangkan pendidikan serta literasi lingkungan.
Lahirnya Rumah Koran dari Kesadaran
Rumah Koran awalnya adalah sebuah kandang bebek yang kemudian disulap menjadi tempat belajar. Dindingnya ditempeli koran-koran bekas yang memuat berita tentang lingkungan, motivasi, dan inspirasi.
Setiap Minggu, anak-anak dan pemuda setempat berkumpul di Rumah Koran. Setelah memilah berita, mereka berangkat ke sungai untuk membersihkan lingkungan, membaca buku, dan mengenal jenis-jenis tumbuhan.
Mengajak Anak-anak Mengenal Lingkungan
Ketika masyarakat melihat anak-anak belajar di tepi sungai, mereka pun mulai sadar pentingnya menjaga kebersihan sungai.
“Tak mungkin lagi kita mengotori tempat belajar anak-anak kami!”
Anak-anak lainnya juga ikut tertarik untuk bermain dan belajar bersama di sungai, kebun, dan gunung, sehingga tercipta kesadaran untuk menjaga alam.
"Ayo, kita bermain dan belajar di sini!"
Tantangan yang Menjadi Motivasi
Sebagai alumni Universitas Bosowa Makassar, Jamaluddin mengakui bahwa menumbuhkan kesadaran lingkungan memang bukan perkara mudah. Namun, dua tantangan utama yang dihadapi berhasil diatasi dengan aksi nyata. Pertama, masalah sampah di sungai, dan kedua, Desa Kanreapia yang dikenal sebagai daerah penghasil sayur-mayur terbesar di Sulawesi Selatan.
Tantangan ini dijawab dengan aksi bersama pemuda desa, seperti membersihkan sungai, membuat lahan percontohan, menjaga mata air, dan membangun embung pertanian. Hingga saat ini, sudah ada 100 embung yang membantu petani menghadapi musim kemarau.
Rencana Selanjutnya
Jamaluddin menjelaskan bahwa PT Astra International Tbk mengapresiasi gerakan pendidikan yang dijalankannya. Pendidikan harus mampu mengedukasi masyarakat, sehingga lahirlah petani literasi yang bisa memahami potensi alam desa mereka dan merawatnya.
Kolaborasi dengan Satbrimob Polda Sulawesi Selatan juga diwujudkan dengan membagikan 1.000 pupuk organik kepada petani, sebagai bagian dari upaya peralihan dari pupuk anorganik. Petani pun mulai sadar akan pentingnya menggunakan masker dan sarung tangan saat mengaplikasikan pupuk kimia.
Selanjutnya, Jamaluddin melanjutkan kegiatan berbagi, seperti membagikan 1.000 pupuk organik, 100 cangkul, dan 100 caping kepada petani. Dampaknya, lingkungan menjadi lebih lestari, dan lebih dari 100 ton sayur-sayuran telah disumbangkan ke 100 panti asuhan di Sulawesi Selatan.
Membangun Pilar Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan, dan Kewirausahaan
Pada tahun 2020, Desa Kanreapia meraih penghargaan Kampung Iklim Utama dan pada tahun 2022 naik status menjadi Kampung Iklim Lestari, penghargaan tertinggi dalam kategori kampung iklim.
Jamaluddin berharap gerakan baik ini dapat menyebar ke desa-desa tetangga, dan ia bertekad untuk menjalin kerja sama dengan desa-desa tersebut. Desa yang berhasil akan memiliki kelompok-kelompok binaan yang turut menjaga alam dan potensi desa mereka.
Pada tahun 2017, Jamaluddin terpilih sebagai penerima SATU Indonesia Awards dan pada tahun 2021 membawa Kanreapia menjadi Kampung Berseri Astra. PT Astra International Tbk menjelaskan bahwa gerakan ini sudah mencakup empat pilar utama: pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan kewirausahaan.
Meluaskan Gerakan Positif
Jamaluddin menyadari bahwa gerakan positif ini tidak boleh berhenti di satu desa saja. Bagaimana menjadikan desa lebih berdaya sehingga menarik minat orang kota untuk datang, entah untuk panen sayuran, berfoto di sawah, atau menjelajah Desa Kanreapia. Wisata edukasi ini pada akhirnya akan menguntungkan petani dan melahirkan petani yang dermawan.
Sebagai penggagas Rumah Koran, Jamaluddin tak henti-hentinya mengajak para petani untuk rajin membaca dan berorganisasi. Meskipun tantangan seperti minimnya minat untuk sekolah dan tingginya angka pernikahan dini masih menjadi kendala, kegigihan Jamaluddin telah membuahkan hasil. Kini, 75 persen penduduk desa sudah bisa membaca, menulis, belajar bahasa Arab dan Inggris, serta melanjutkan sekolah hingga menjadi petani organik.
"Saya anak desa. Saya petani. Dan saya bangga!" tutup Jamaluddin.
Meski terkesan sederhana, tindakan Jamaluddin berdampak besar pada lingkungan dan masyarakat. Dari Gowa, Jamaluddin siap melangkah maju dengan semangat bersama, berkarya, berkelanjutan! (*)
Sumber:
- Channel YouTube SATU Indonesia "Jamaluddin, Sang Pencerdas Anak Petani Dari Gowa"
- Ebook SIA 2023
- Good Movement GNFI "Kisah Inspiratif Penerima Satu Indonesia Awards Astra: Menggapai Impian, Membangun Bangsa"
- Akun Instagram @jamaluddindgabu
Komentar
Posting Komentar